Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Makalah Bahasa Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Kurikulum merupakan elemen strategis dalam sebuah layanan program pendidikan. Ia adalah ’cetak biru’ (blue print) atau acuan bagi segenap pihak yang terkait dengan penyelenggaraan program. Dalam konteks ini dapatlah dikatakan bahwa kurikulum yang baik semestinya akan menghasilkan proses dan produk pendidikan yang baik. Sebaliknya, kurikulum yang buruk akan membuahkan proses dan hasil pendidikan yang juga jelek.
Persoalannya,  hubungan antara kurikulum (sebagai rencana atau doku-men) dengan proses dan hasil pendidikan (kurikulum sebagai aksi dan produk) tidaklah bersifat linear. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya. Pertama, sebagai suatu sistem, mutu sebuah kurikulum akan ditentukan oleh proses  perancangan, pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Kedua, secara programatik, kualitas sebuah kurikulum ditentukan oleh kesanggupannya dalam mempertanggungjawabkan pelbagai keputusan yang diambil, baik secara keilmuan, moral, sosial, dan praktikal. Ketiga, secara pragmatik, nilai sebuah kurikulum ditentukan oleh kemampuannya dalam memberikan layanan pendidikan yang dapat mendorong peserta didik untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, baik oleh peserta didik sendiri maupun oleh masyarakat dan sistem sosial.
Dari perspektif manajemen mutu terpadu (Total quality management) ---- yang telah lama diterapkan dalam mengelola lembaga pendidikan----- pendidikan adalah jasa layanan. Sebagai sebuah jasa layanan, keberhasilan suatu program pendidikan ditentukan oleh kesanggupannya dalam memenuhi kepuasan pengguna (customer satisfaction). Indikator kepuasan itu, demikian dinyatakan ahli manajemen mutu seperti Deming dan Juran,  ditetapkan oleh kesanggupan layanan pendidikan dalam memenuhi harapan, keinginan, dan kebutuhan pengguna (peserta didik dan pemangku kepentingan). Itu berarti, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berorientasi akhir pada kebutuhan dan kepuasan pengguna.
 Atas dasar itu pula dapatlah ditegaskan di sini bahwa kurikulum yang baik dan bermakna adalah kurikulum yang dikembangkan dengan beranjak dari hakikat pendidikan termasuk pendidikan menengah umum (pengertian dan tujuan), hakikat pebelajar, hakikat  belajar dan pembelajaran, hakikat muatan, serta kesanggupan lulusan pendidikan dalam menghadapi secara layak dinamika kehidupan yang akan datang.  Namun demikian, mengingat tujuan dan ciri setiap kelompok usia sekolah pada masing-masing satuan pendidikan itu berbeda-beda, adalah sebuah kenisyaan jika pengembangan dan pelaksanaan kurikulum itu mengakomodasi setiap perbedaan atau keunikan yang ada.





BAB II
PEMBAHASAN


A.  Landasan Pemikiran Pengembangan Kurikulum

1.      Hakikat bahasa dan bahasa Indonesia

Para ahli merumuskan makna bahasa secara bervariasi, sesuai dengan minat dan sudut pandang penyusunnya, seperti contoh berikut.
a.       Bahasa adalah sebuah simbol bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia (Wardhaugh, 1972);
b.      Bahasa ialah sebuah alat untuk mengkomunikasikan gagasan atau perasaan secara sistematis melalui penggunaan tanda, suara, gerak, atau tanda-tanda yang disepakati, yang memiliki makna yang dipahami (Webster’s New Collegiate Dictionary, 1981);
c.       Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota sosial untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan mengidentifikasi diri (Kentjono, Ed., 1984:2);
d.      Bahasa ialah salah satu dari dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia (Halliday dan Hasan, 1991).

Dari pelbagai definisi tersebut, tampaklah bahwa pada dasarnya  bahasa memiliki karakteristik sebagai berikut. 

a.      Bahasa adalah sebuah sistem
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sitematis dan sitemis. Sistematis artinya bahasa itu dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang berkombi-nasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Jika bahasa tidak sistematis, maka bahasa akan kacau, tidak bermakna, dan sulit dipelajari. Sistemis artinya bahasa terdiri dari sejumlah subsistem, yang satu sama lain saling terkait dan membentuk satu kesatuan utuh yang bermakna. Subsistem bahasa terdiri atas: subsistem fonologi (bunyi-bunyi bahasa), subsistem gramatika (morfologi, sintaksis, dan wacana), serta subsistem leksikon (kosakata). Ketiga subsistem itu menghasilkan dunia bunyi dan dunia makna, yang membentuk sistem bahasa.


b.      Bahasa merupakan sistem lambang  yang arbitrer  dan konvensional
Bahasa  merupakan sistem simbol bunyi dan/atau tulisan yang  diperguna-kan dan disepakati oleh suatu kelompok mayarakat penggunanya. Sebagai sebuah simbol, bahasa memiliki arti. Keberadaan simbol menjadikan interaksi berbahasa antarpenutur lebih mudah. Karena simbol itu merupakan sistem, maka untuk memahaminya harus dipelajari. Mengapa harus dipelajari?
Pertama, karena penamaan suatu obyek atau peristiwa yang sama antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa lainnya cenderung berbeda. Kedua, bahasa terdiri dari aturan-aturan atau kaidah yang disepakati. Ketiga, tidak ada hubungan langsung dan wajib antara simbol bahasa dengan obyeknya. Hubungan keduanya bersifat manasuka (arbitrer). Tak dapat dijelaskan  mengapa orang  Indonesia menamai ’hewan yang hidup di air, ada siripnya, dan biasa dikonsumsi’ dengan kata ikan; orang Sunda menamainya lauk; orang Jawa menyebutnya iwak; orang Inggris memanggilnya fish; dan  orang Arab mengata-kannya samak.

c.       Bahasa bersifat produktif
Jumlah fonem, huruf, dan pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia itu sangat terbatas. Tetapi, dengan keterbatasannya itu dapat dihasilkan satuan bahasa dalam jumlah yang tak terbatas. Kita dapat membentuk ribuan kata, kalimat, atau wacana dengan segala variasinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat penggunanya. 

d.      Bahasa memiliki fungsi dan variasi
Bahasa tercipta karena kebutuhan  manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan eksistensinya. Dengan bahasa manusia dapat mengeks-presikan dan menangkap pikiran, perasaan, dan nilai-nilai diri dan orang lain, sehingga dapat memahami, dipahami, dan bekerja sama. Dengan demikian, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi.
Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi personal, yang mengacu pada peranan bahasa sebagai alat untuk mengung-kapkan pikiran dan perasaan setiap diri manusia sebagai makhluk individu. Kedua, fungsi sosial, yang merujuk pada peranan bahasa sebagai alat komunikasi dan berinteraksi antar-individu atau antarkelompok sosial.
Secara rinci, Halliday (1975, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) meng-identifikasi tujuh fungsi bahasa, yaitu: (1) fungsi personal (untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, sikap, atau perasaan pemakainya), (2) fungsi regulator (untuk mempengaruhi sikap atau pikiran/pendapat orang lain), (3) fungsi interaksional (untuk menjalin kontak dan menjaga hubungan sosial, seperti sapaan, basa-basi, simpati, atau penghiburan), (4)  fungsi informatif (untuk menyampaikaninformasi, ilmu pengetahuan, atau budaya), (5)  fungsi heuristik (untuk belajar atau memper-oleh informasi, seperti pertanyaan atau permintaan penjelasan atas sesuatu hal), (6)  fungsi imajinatif (untuk memenuhi dan menyalurkan rasa estetis), serta (7) fungsi instrumental (untuk mengungkapkan keinginan atau  kebutuhan pema-kainya).
Suatu bahasa digunakan untuk berbagai kebutuhan dan tujuan dalam konteks yang berbeda-beda. Karena itu suatu bahasa tidak pernah tampil statik atau seragam. Perbedaan pengguna (individual atau kelompok) dan penggunaan   bahasa (topik, latar, situasi, dan tujuan) menimbulkan variasi wujud suatu bahasa, yang disebut ragam bahasa. Dari perspektif ini muncullah istilah ragam bahasa: baku-tak baku, formal-tak formal, ilmiah-sastra, lisan-tulis, jurnalistik, ekonomi, dsb.
Sebagai sebuah produk kebudayaan, bahasa juga merupakan simbol kelompok, yang mencerminkan identitas masyarakat penggunanya. Anggota masyarakat suatu bahasa diikat oleh perasaan sebagai satu kesatuan, yang membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya. Bahasa Indonesia adalah jati diri masyarakat dan bangsa Indonesia, yang memiliki ciri khas tersendiri, yang berbeda dari bahasa lain. Kendati memiliki akar bahasa yang sama, yaitu bahasa Melayu, bahasa Indonesia memiliki ciri yang khas dibandingka dengan bahasa Melayu Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.
Lalu, apa bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Penggunaannya yang meluas sebagai lingua franca dalam wilayah Nusantara, menjadikan bahasa tersebut disepakati dalam Sumpah Pemuda 1928 sebagai bahasa negara dan bahasa nasional di lingkungan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Dalam perkembangannya kemudian, bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup memperkaya dirinya dengan kata-kata yang bersumber dari perekayasaan internal serta adopsi dan/atau adaptasi dari bahasa daerah dan bahasa asing.

2.      Hakikat peserta didik PMU dalam belajar bahasa Indonesia
Bangsa Indonesia dapat disebut sebagai masyarakat poliglot (multibahasa). Mereka berasal dari pelbagai suku dengan budaya dan bahasa yang berbeda-beda. Keadaan ini menjadikan para siswa pendidikan menengah berpeluang menguasai lebih dari satu bahasa. Lalu, mana dulu bahasa yang dikenal peserta didik? Bahasa daerah atau bahasa Indoensia dulu, atau sebaliknya?
Ada tiga kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, para siswa lebih dulu mempelajari dan menguasai bahasa ibunya, baru kemudian bahasa Indonesia. Bagi mereka, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua (second language), yang diperoleh secara berurutan (sequencial language acquisition). Kemungkinan kedua, bahasa Ibu dan bahasa Indonesia dipelajari simultan. Bagi mereka,  bahasa Indonesia seperti halnya bahasa Ibu merupakan bahasa pertama (first language) yang diperoleh secara serempak (simultaneous languge acquisitioon). Kemungkinan ketiga, seiring dengan derasnya perpindahan anggota masyarakat suatu suku ke daerah suku lain, perkawinan antarsuku, dan banyaknya masya-rakat yang tinggal di kota-kota besar, tak jarang pula seorang anak hanya menguasai satu bahasa. Mereka dibesarkan di dalam situasi komunikasi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa yang pertama kali dikenal, dikuasai, dan digunakan dalam tindak komunikasi adalah bahasa Indonesia. Bagi mereka bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama (first language).
Ketika mereka masuk ke pendidikan menengah, apa pun status pemer-olehan bahasa Indonesianya (bahasa pertama/kedua), pada umumnya mereka telah dapat berbahasa Indonesia dengan lancar. Oleh karena itu, kebutuhan mereka dalam belajar bahasa di PMU tidak lagi berupa kemahiran berbahasa elementer. Yang mereka perlukan adalah penguasaan kemampuan berbahasa yang lebih kompleks dengan tantangan yang lebih tinggi (lisan/tulis), yang terkait dengan kepentingan pengembangan diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan pengekspresian diri yang lebih cerdas dan elegan. 



3.      Hakikat belajar 
Gagne (1977) menganalogkan belajar  dengan sebuah proses membangun gedung. Anak-anak secara terus menerus membangun makna baru (pengeta-huan, sikap, dan keterampilan) berdasarkan apa yang telah mereka kuasai sebelumnya. Anak atau peserta didik adalah orang yang membangun. Makna adalah apa yang mereka bangun. Apa yang mereka miliki atau kuasai sebelumnya adalah material atau bahan bangunan yang mereka gunakan untuk membangun. 
Belajar adalah sebuah proses penambahan  bagian demi bagian informasi baru terhadap informasi yang telah mereka ketahui dan kuasai sebelumnya. Ini terjadi karena belajar merupakan proses developmental. Perkembangan kognitif anak terkait dengan kematangan biologis, psikologis, dan sosialnya. Proses belajar terjadi ketika siswa dapat menghubungkan apa yang telah mereka ketahui dengan apa yang mereka temukan dalam pengalaman belajar yang terjadi melalui interaksi yang bermakna antara siswa dengan siswa, guru, bahan pelajaran, dan lingkungan belajarnya. Ini berarti siswa dapat belajar dengan baik ketika mereka mendapat dukungan dari  orang lain yang memiliki pengetahuan lebih sehingga mereka terbantu untuk dapat belajar secara lebih mandiri. Dalam perspektif ini, guru berperan sebagai inspirator, fasilitator, direktor, dan scaffolder  (Piaget dan Vygostky, dalam Greedler, 1992).
Menurut Goodman (1987), siswa belajar dengan menggunakan tiga cara, yaitu melalui pengalaman (dengan kegiatan langsung atau tidak langsung), pengamatan (melihat contoh atau model), dan bahasa. Dengan  cara-cara seperti itu, siswa  belajar melalui kehidupan secara langsung. Mereka menggali, mela-kukan, menguji coba, menemukan, mengungkapkan, dan membangun secara aktif pengetahuan yang baru melalui konteks yang otentik. Ini berarti, kegiatan belajar berlangsung melalui apa yang dilakukan secara aktif oleh siswa. Sesibuk apa pun yang dilakukan guru, jika anak tidak belajar, maka sebenarnya pembelajaran tidak pernah terjadi.
Menjadikan siswa sebagai knowledge constructor atau discoverer itu memang tidak mudah. Perlu waktu, kesabaran, dan keahlian tertentu. Akan tetapi, belajar dengan cara itu akan memberikan hasil yang lebih bermakna bagi siswa. Mengapa?  Karena yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan kehidupan nyata.  Keadaan ini  dapat menimbulkan daya retensi yang lebih tinggi, daripada perolehan pengetahuan yang dilakukan sekedar melalui ’penjejalan’ dan ’penerusan’ informasi belaka. Dari perspektif ini, indikator tingkat kebelajaran siswa  terletak pada seberapa jauh guru dapat melibatkan siswa secara aktif dalam belajar (Tyler, 1949; Kemp, 1985; Reece dan Walker, 1997; serta Glover dan Law, 2002; Sukmadinata, 2004).

4.      Hakikat belajar bahasa
Sebelum masuk sekolah, anak belajar bahasa melalui komunitasnya: keluarga, teman, media radio atau televisi, dan lingkungannya. Anak memahami apa yang dikatakan oleh lingkungannya; sekaligus, ia pun menyampaikan ide dan perasaannya melalui bahasa. Hanya dalam waktu sekitar empat tahun, anak-anak telah menguasai sistem yang kompleks dari bahasa ibunya. Mereka telah dapat memahami kalimat-kalimat yang lebih kompleks, yang belum pernah didengar sebelumnya, serta menghasilkan kalimat-kalimat baru yang cukup rumit, yang belum pernah  terucap sebelumnya. Lalu, bagaimana mereka belajar bahasa sehingga hasilnya begitu luar biasa?
Cukup banyak pendapat tentang bagaimana anak belajar dan menguasai bahasa. Pelbagai pendapat itu dapat diklasifikasikan atas tiga pandangan. Pertama,  pandangan nativistik yang berpendapat setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemampuan bawaan atau alami untuk dapat berbahasa. Selama belajar bahasa, sedikit demi sedikit potensi berbahasa yang secara genetis telah terprogram menjadi terbuka dan berkembang. Kemampuan bawaan berbahasa itu disebut dengan ’piranti pemerolehan bahasa’ (language acquisition device, atau LAD) yang berpusat di otak.  Piranti  itulah yang membuat anak dapat berbahasa, sebagaimana halnya sirip dan ekor yang memungkinkan seekor ikan bisa berenang.

Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak memberikan masukan berbahasa kepada anak. Selanjutnya, data tersebut diolah oleh LAD dengan memakai potensi gramatika bahasa anak sehingga tersusunlah pola-pola kaidah bahasa dan kaidah berbahasa pada diri anak, yang kemudian tercermin dalam tindak berbahasa (ujaran) yang dihasilkan anak yang sesuai dengan pola ujar orang dewasa (Chomsky dalam Santrock, 1994; Cahyono, 1995).
Kedua, pandangan behavioristik, yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa anak ditentukan  oleh rangsangan yang diberikan lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan aktif, hanya sebagai penerima pasif dan peniru belaka. Perkembangan bahasa anak sangat ditentukan oleh kekayaan dan lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungan, serta peniruan yang dilakukan anak terhadap tindak berbahasa lingkungannya.
Ketiga, pandangan kognitif, yang berpendapat bahwa  penguasaan dan perkembangan bahasa anak ditentukan oleh daya kognitifnya. Lingkungan tidak serta merta memberikan  pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan bahasa anak, kalau si anak sendiri tidak melibatkan diri secara aktif dengan lingkungannya. Dengan kata lain, anaklah yang berperan aktif  untuk terlibat dengan lingkungannya agar  penguasaan bahasanya dapat berkembang secara optimal. Ketika si ibu mengajak berbicara dengan anak, misalnya, si anak  akan meresponnya dengan berbagai cara yang tidak selalu sama dengan cara yang pernah dipertunjukkan si ibu sebelumnya. Cara anak menanggapi apa yang disampaikan oleh ibunya, bersumber dari  kemampuan berpikir anak. Bukan karena menirukan atau mencontoh tuturan  orang dewasa.
Anak-anak belajar dan menguasai bahasa tanpa disadari, dan tanpa beban, apalagi diajari secara khusus. Mereka belajar bahasa melalui pola berikut.

a.      Semua komponen, sistem, dan keterampilan bahasa dipelajari secara terpadu 
Ketika anak belajar berbicara, dia sekaligus belajar menyimak. Pada saat itu pula, tanpa disadari, mereka pun mempelajari  dan menguasai komponen dan aturan bahasa seperti: bunyi bahasa berikut sistem fonologinya, satuan bahasa (seperti frase, kalimat, wacana, intonasi) berikut sistem gramatika, kosa kata dan sistem pengunaannya, serta pragmatik yang memungkinkan mereka dapat memilih dan menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan fungsi dan tujuan berbahasa.

b.      Belajar bahasa dilakukan secara alami, langsung, dan kontekstual 
Anak-anak belajar bahasa tanpa terlebih dulu belajar teori bahasa, melainkan melalui pengalaman langsung dalam kegiatan berbahasa (immersion) melalui interaksi dengan keluarga, pengasuh, teman bermain, dan lingkungannya dalam konteks nyata, alami, dan tidak dibuat-buat (otentik). Tak ada satu pun orang tua yang mengajari anaknya berbahasa dengan mengajarkan teori bahasa lebih dulu. Komponen, sistem, dan keterampilan berbahasa yang dikuasai anak dibangun secara tidak sadar berdasarkan pengalaman bahasanya. 

Komunitas di mana anak tumbuh dan berkembang memberikan inspirasi, masukan, dan model dalam belajar bahasa.  Oleh karena itu, kualitas berba-hasa komunitas yang mengitari anak, akan mempengaruhi pula corak berba-hasa yang dikuasai dan dihasilkannya.  Jika masukan dan model berbahasa yang diperoleh anak kaya dan bagus, maka akan tinggi dan bagus pula bahasa yang dikuasai anak. Begitu pula, sebaliknya. 

c.       Belajar bahasa dilakukan secara bertahap
Anak belajar bahasa secara bertahap, seiring dengan pertumbuhan fisik, intelektual, sosial, dan kebutuhan mereka. Mereka belajar bahasa mulai dari tahap meracau, holofrasis, satu kata, dua kata, hingga yang paling kompleks. Jika masukan bahasa yang mereka terima tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, atau ternyata terlalu sulit, maka mereka akan mengabaikannya. Mereka belajar bahasa dari yang sederhana menunju yang rumit, dari yang dekat menuju yang jauh, dan  konkret menuju yang abstrak, serta sesuai dengan keperluan kehidupan mereka.

d.      Belajar bahasa dilakukan melalui strategi uji-coba dan strategi lainnya
Mencontoh adalah salah satu cara yang dilakukan anak dalam belajar bahasa. Namun demikian, perilaku mencontoh yang dilakukan anak tidak seperti halnya beo yang mengikuti apa saja yang ’diajarkan’  orang kepadanya. Peniruan atau pencontohan anak dilakukannya secara kreatif atas peristiwa berbahasa yang disediakan lingkungannya. Ia mengolah dan menerapkannya  secara langsung dalam berbahasa melalui strategi uji-coba. Kalau ternyata unjuk berbahasa yang dia lakukan mendapat repon yang ia harapkan, maka si anak akan melanjutkannya dengan kreasi-kreasi berbahasa lainnya. Sebaliknya, bila anak merasa apa yang disampaikkanya tidak pas, maka ia akan menghentikan dan memperbaikinya.

Dalam perspektif ini,  kesalahan anak dalam belajar bahasa harus disikapi secara wajar, dan dianggap sebagai bagian penting dari belajar bahasa itu sendiri.  Dengan strategi itu, tak jarang tingkah berbahasa anak akan membuat  orang tuanya terkaget-kaget  karena anak ternyata dapat mema-hami dan menghasilkan tuturan baru, yang tidak pernah didengar dan diucapkan sebelumnya.

e.       Anak belajar bahasa karena ia memerlukannya
Anak belajar bahasa bukan demi bahasa itu sendiri. Ia belajar bahasa tidak untuk mengetahui apa itu fonem, morfem, kalimat, makna, atau terminologi linguistik lainnya. Anak belajar bahasa  karena ia perlu untuk kelangsungan hidupnya: untuk memahami dan dipahami, untuk diakui dan mengakui, serta untuk merespon dan direspon.

B.     Kurikulum Bahasa Indonesia PMU
1.      Tujuan dan Muatan Kurikulum Bahasa Idonesia PMU
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempel-ajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta  didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.
Beranjak dari paparan tersebut dan dengan memperhatikan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar isi, kedudukan dan misi pelajaran Bahasa Indonesia PMU tersebar ke dalam tiga kelompok mata pelajaran berikut.
a.      Kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian bertujuan: mem-bentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni dan budaya, dan pendidikan jasmani.
b.      Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bertujuan: mengem-bangkan logika, kemampuan berpikir dan analisis peserta didik. Pada satuan pendidikan SMA/MA/SMALB/Paket C, tujuan ini dicapai melalui muatan dan/ atau kegiatan bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, keterampilan/kejuruan, teknologi informasi dan komunikasi, serta muatan lokal yang relevan
c.       Kelompok mata pelajaran Estetika bertujuan: membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Tujuan ini dicapai melalui muatan dan/atau kegiatan bahasa, seni dan budaya, keterampilan, dan muatan lokal yang relevan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk membekali siswa PMU dengan kemampuan minimal dalam hal: penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.  Secara spesifik, tujuan pembelajaran Bahasa Indone-sia tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

a.      Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis
b.      Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.
c.       Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
d.     Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
e.      Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memper-halus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
f.        Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Perangkat tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kemampuan minimal yang harus dikuasai lulusan PMU (Program IPA dan IPS) dalam belajar bahasa Indonesia. Kemampuan minimal itu dikemas ke dalam komponen kemampuan berbahasa dan bersastra berikut.
a.      Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan penyampaian berita, laporan, saran, pidato, wawancara, diskusi, seminar, dan pembacaan karya sastra berbentuk puisi, cerita rakyat, drama, cerpen, dan novel.
b.      Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan berkenalan, diskusi, bercerita, presentasi hasil penelitian, serta mengomentari pembacaan puisi dan pementasan drama
c.       Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis teks non-sastra berbentuk grafik, tabel, artikel, tajuk rencana, teks pidato, serta teks sastra berbentuk puisi, hikayat, novel, biografi, puisi kontemporer, karya sastra berbagai angkatan dan sastra Melayu klasik
d.      Menulis
Menggunakan berbagai jenis wacana tulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk teks narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, teks pidato, proposal, surat dinas, surat dagang, rangkuman, ringkasan, notulen, laporan, resensi, karya ilmiah, dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerpen, drama, kritik, dan esei.

Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra. Selanjutnya, SKL-MP Bahasa Indonesia tersebut dijabarkan ke dalam serangkaian standar kompetensi  dan kompetensi dasar (SK-KD) terlampir.
Mencermati paparan tentang tentang tujuan dan SKL-MP Bahasa Indonesia,  lalu bagaimana menyiasatinya ke dalam kurikulum dan pembelajaran? Pada dasarnya, materi kajian mata pelajaran Bahasa Indonesia terdiri dari tiga bidang: (1) kebahasaan, yang mencakup: sejarah, fungsi dan kedudukan,  serta teori bahasa seperti fonologi, ejaan, morfologi, sintaksis, dan semantik; (2)  keterampilan berbahasa, yang meliputi:  mendengarkan atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis; serta (3) Ketiga, kesastraan, yang terdiri dari pengetahuan dan apresiasi sastra.
Dalam Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006, materi kebahasaan tidak diterakan secara rinci dan eksplisit. Ini berarti, guru dituntut untuk dapat menafsirkan sendiri rincian aspek kebahasaan yang harus diajarkan kepada siswa. Implisitasi materi kebahasaan tampaknya pengembang SKL-MP berpikir bahwa materi tersebut terintegrasi ke dalam kegiatan berbahasa dan bersastra. Sementara itu, untuk membangun kegemaran dan kemampuan membaca, siswa PMU diwajibkan membaca buku sastra dan nonsastra sekurang-kurangnya 15 buah buku.
Itu berarti, pengemasan SKL dan SK-KD mata pelajaran Bahasa Indonesia ke dalam kurikulum dan pembelajarannya harus memperhatikan rambu-rambu berikut.
a.      Sajian pelajaran bahasa Indonesia dikemas ke dalam aspek kemampuan berbahasa dan bersastra melalui kegiatan: mendengarkan, berbicara, mem-baca, dan menulis.
b.      Pembelajaran lebih menekankan pada penguasaan fungsi komunikasi bahasa Indonesia. Ini berarti, pembelajaran berbahasa harus dapat membekali siswa dengan kemampuan memahami dan menggunakan bahasa secara kritis dan kreatif sesuai dengan maksud, fungsi, dan situasi berbahasa.
c.       Pembelajaran bahasa tidak ditujukan sebatas bahasa itu sendiri. Pembelajaran bahasa harus dapat membekali siswa dengan kemampuan untuk mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan seni, serta menemukan, mempelajari, mengolah, dan mengorganisasikan infor-masi. Dengan upaya ini, siswa diharapkan memiliki kebiasaan dan kebisaan untuk menjadi pebelajar mandiri seumur hidup.
d.     Pembelajaran bahasa harus dapat menumbuhkan kebanggaan dan daya apresiasi terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Ini berarti pembelajaran tidak hanya menyentuh dimensi nalar dan keterampilan semata, tetapi juga aspek rasa, estetika, imajinasi, spiritualitas, dan ketinggian akhlak siswa.
e.      Pembelajaran pelbagai aspek bahasa Indonesia (kebahasaan, kesastraan, dan keterampilan berbahasa) dilakukan secara terpadu atau tematik, tidak secara terpisah-pisah.
f.        Dalam membangun kegemaran dan kemampuan membaca, pembelajaran  melibatkan berbagai sumber yang utuh dan otentik dalam bentuk buku, artikel, karya sastra, atau bahan/sumber lainnya. Ini berarti pembelajaran  membaca tidak lagi disajikan dalam bentuk serpihan-serpihan bacaan yang sepotong-sepotong sebagaimana biasanya disajikan dalam buku teks.

Untuk mewujudkan sajian pelajaran Bahasa Indonesia yang seperti itu, maka daerah, sekolah, dan guru: 
a.      memusatkan perhatian pada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
b.      menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan secara mandiri dan leluasa sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
c.       melibatkan orang tua dan masyarakat secara aktif dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
d.     menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; serta
e.      menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Beranjak dari  uraian sebelumnya tentang hakikat bahasa dan belajar, serta mengapa dan bagaimana anak belajar bahasa, maka paradigma pembelajaran  bahasa di sekolah adalah sebagai berikut.
1.      Terkait dan bertahap, yaitu pembelajaran bahasa bertolak dari apa yang telah dikenal, dipahami, dan dikuasai siswa, serta  memperhatikan perkembangan dan kemampuan siswa. Siswa dapat belajar bahasa dengan baik apabila apa yang dipelajarinya terhubung dengan  apa yang telah dimilikinya. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa harus beranjak dari yang mudah ke yang sukar, dari yang sederhana ke yang  rumit, dari yang dekat  ke yang jauh, dan dari yang konkret ke yang abstrak. Apabila yang dipelajari siswa terlalu mudah, maka akan membosankan mereka; sebaliknya, bila terlalu sukar akan memfrustasikan mereka. Kedua hal itu akan menjadikan kegiatan belajar tidak bermakna.
2.      Imersi, yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan ’menerjunkan’  siswa secara langsung dalam kegiatan berbahasa yang dipelajarinya. Contoh, ketika siswa belajar mengarang, ia diterjunkan langsung dalam kegiatan mengarang. Berikan ia pengalaman bagaimana dan seperti apa mengarang itu dengan memintanya menulis sebuah karangan dengan topik tertentu. Jika siswa kesulitan, berikan ia model atau contoh karangan yang sesuai. Selanjutnya, guru memandu siswa untuk dapat menggali dan menemukan sendiri ’teori’  atau tata cara mengarang yang efktif dan efisien berdasarkan pengalaman yang dilaluinya.
3.      Pengerjaan (employment), yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam berbagai  kegiatan berbahasa yang bermakna, fungsional, dan otentik. Bermakna artinya kegiatan berbahasa yang dilakukan siswa dapat menghasilkan wawasan, sikap, atau keterampilan baru yang secara bertahap dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya. Fungsional artinya aktivitas berbahasa yang dilakukan siswa memiliki tujuan yang jelas dalam berkomunikasi, yang mengarah pada salah satu atau lebih dari tujuh fungsi bahasa sebagaimana dipaparkan pada Bab I. Otentik artinya aktivitas berbahasa siswa terjadi dalam konteks yang jelas, yang memang lazim digunakan dalam kenyataan berbahasa di luar kelas. Ini berarti, kalau siswa harus membuat satu kalimat atau wacana, siswa harus dapat membayangkan untuk apa dan dalam situasi berbahasa apa ia membuat kalimat atau wacana tersebut. Dengan paradigma ini diharapkan tidak terjadi lagi adanya tugas atau kegiatan siswa yang asal-asalan atau hanya sekedar rekaan, yang tidak pernah ada dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Kita tidak akan lagi menemukan guru bahasa mengajarkan kalimat aktif dan pasif yang lepas konteks, seperti: 
(1)  Budi memukul anjing.   
(2)  Anjing dipukul Budi.

4.      Demonstrasi, yaitu siswa belajar bahasa melalui demonstrasi ---dengan pemodelan dan dukungan--- yang disediakan guru. Model atau contoh merupakan upaya pembelajaran yang dapat menjadikan sesuatu (konsep, sikap, keterampilan) yang abstrak, rumit, atau sulit menjadi konkret, seder-hana, atau mudah, karena gambaran yang ditampilkannya. Model itu dapat berupa manusia (guru atau sumber lain) atau sesuatu yang  lain. Ketika siswa belajar membacakan berita, akan lebih efektif apabila mereka diberikan model ’pembacaan berita’ dengan mendengarkan radio, melihat TV, atau melihat contoh yang ditampilkan guru. Dari model itu siswa akan meng-inspirasi atau mencontoh secara kreatif  apa dan bagaimana membacakan berita itu dilakukan. Demonstrasi itu tidak hanya sesuatu yang dicontohkan secara langsung kepada siswa, tetapi juga yang tidak langsung melalui penyediaan berbagai sumber belajar bahasa yang kaya dan menarik.
5.      Integratif, yaitu pembelajaran aspek-aspek bahasa (kebahasaan, kesastraan, keterampilan berbahasa yang terdiri atas menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dilakukan secara terpadu ------baik antaraspek dalam bahasa Indonesia itu sendiri maupun  dengan bidang studi lain-----  serta terkait dengan kehidupan nyata.
6.      Uji-coba (trial-error), yaitu pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan dari perspektif atau sudut pandang siswa. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kesalahan dalam belajar bahasa merupakan bagian dari proses belajar bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, siswa akan lebih percaya diri dalam belajar apabila ia mengerti bahwa gurunya tidak hanya menekankan pada ketepatan, tetapi memberinya kesempatan untuk memperbaiki atau menyempurnakan hasil kerjanya melalui uji-coba yang dilakukan siswa
7.      Tanggung jawab (responsibility),  yaitu pembelajaran bahasa memberikan pelu-ang kepada siswa untuk memilih aktivitas berbahasa yang akan dilakukan-nya. Upaya ini akan bermanfaat bagi siswa untuk (1) menyalurkan minat dan keinginannya dalam belajar bahasa, dan (2)  menjadikan siswa lebih percaya diri dan bertanggung jawab atas tugas atau kegiatan yang dipilih dan dilakukannya. Kalau siswa mendapat tugas membaca suatu karya sastra cerpen, misalnya, siswa diberi kesempatan untuk memilih salah satu karya sastra yang dibacanya. Siswa pun diberikan kebesan untuk memilih bentuk respon terhadap karya sastra yang dibacanya.
8.      Berpengharapan (expectation), artinya siswa akan berupaya untuk sukses atau berhasil dalam belajar, jika dia merasa bahwa gurunya mengharapkan dia menjadi sukses.  Sikap guru itu ditunjukkan melalui perilakunya yang mau memperhatikan, mengerti, dan membantu kesulitan siswa; mendorong atau  membesarkan hatinya apabila siswa melakukan kesalahan disertai dengan pemberian masukan; serta memberikannya penguatan apabila siswa melakukan hal yang benar.
  
Dengan kedelapan prinsip tersebut, maka prinsip-prinsip pembelajaran bahasa seperti mengaktifkan siswa, otentik dan kontekstual, bermakna, dan lingkungan yang kaya dengan sumber belajar bahasa,  dengan sendirinya terkandung di dalamnya.
Selanjutnya, berdasarkan paradigma pembelajaran bahasa tersebut, guru dapat memilih dan mengembangkan metode dan strategi pembelajaran bahasa Indonesia. Apapun strategi pembelajaran yang digunakan guru tidak menjadi masalah selama sesuai dengan hakikat bahasa, hakikat belajar, tujuan dan cara belajar bahasa anak,  serta paradigma pembelajaran bahasa.
Bearanjak dari konsepsi tentang pembelajaran Bahasa Indonesia tersebut, lalu bagaimana asesmen belajar siswa harus dilakukan? Berikut ini merupakan rambu yang perlu  diperhatikan dalam melakukan asesmen Bahasa Indonesia.
1.      Penilaian dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kemajuan dan hasil belajar dalam ketuntasan pengusaan kompetensi (mastery learning). Implikasinya: (1) semua kompetensi perlu dinilai menggunakan acuan kriteria berdasarkan pada indikator hasil belajar; dan (2) capaian hasil belajar ditetapkan dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan dapat dipertanggung-jawabkan sebagai prasyarat penguasaan kompetensi lebih lanjut.
2.      Penilaian di dilakukan dalam pelbagai bentuk (lisan, tulis, perbuatan), melalui proses dan produk, serta dilakukan secara formal maupun informal, dengan menggunakan pelbagai metode dan alat penilaian (tes dan nontes, termasuk portofolio) untuk memantau kemajuan dan hasil belajar peserta didik.
3.      Penilaian melibatkan siswa melalui refleksi dan pemberian balikan yang me-mungkinkannya menemukan kekuatan dan kelemahannya dalam belajar, serta merancang upaya peningkatan kekuatan dan perbaikan kelemahannya.
4.      Penilaian kelas sebagai bagian integral dari kegiatan pembelajaran dilakukan oleh guru. Dalam pelaksanaan penilaian kelas, guru berwenang untuk menentukan kriteria keberhasilan, cara, dan jenis penilaian. Penilaian Kelas berorientasi pada:
5.      Hasil penilaian diinformasikan kepada siswa, orang tua, dan pihak-pihak yang berkepentingan. Informasi memuat deskripsi kemajuan dan hasil belajar secara utuh dan menyeluruh. Hasil penilaian dapat digunakan untuk mendiagnosis dan memberikan umpan balik untuk perbaikan pembelajaran dan program.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar